Cerpen Adik Kandungku Ternyata Menyimpan Tatapan Itu untuk Istriku
Cerpen Adik Kandungku Ternyata Menyimpan Tatapan Itu untuk Istriku
Cerpen Adik Kandungku Ternyata Menyimpan Tatapan Itu untuk Istriku

Cerpen Adik Kandungku Ternyata Menyimpan Tatapan Itu untuk Istriku

Cerpen Adik Kandungku Ternyata Menyimpan Tatapan Itu untuk Istriku

Dua tahun sudah Aisyah dan Fahmi membina rumah tangga. Meski belum dikaruniai anak, kebahagiaan mereka cukup sederhana: saling memahami, saling mendukung, dan menjalani hidup tanpa banyak tuntutan. Rumah kecil mereka di pinggiran kota selalu bersih dan tertata, cermin dari kedamaian batin penghuninya. Aisyah senang memasak, sementara Fahmi rajin membantu menyiram tanaman atau membetulkan keran yang bocor. Hidup mereka tak mewah, tapi cukup—cukup untuk membuat orang lain iri akan keharmonisan yang terlihat dari luar.

Namun, hidup jarang berjalan lurus tanpa tikungan.

Pada suatu sore yang mendung, Fahmi pulang dari kantor dengan wajah agak tegang. Aisyah yang sedang menyiapkan teh segera menoleh.

“Sayang, boleh kita bicara sebentar?” tanya Fahmi sambil meletakkan tas kerjanya.

Aisyah mengangguk dan duduk di sebelahnya di ruang tamu.

“Raka mau numpang tinggal di sini sementara waktu. Kantornya pindah ke dekat sini, dan dia belum dapat tempat tinggal,” ujar Fahmi pelan.

Aisyah sedikit terkejut, tapi ia segera menyembunyikan ekspresinya. “Oh… ya nggak apa-apa. Kapan dia datang?”

“Besok pagi.”

Raka adalah adik bungsu Fahmi. Umurnya terpaut lima tahun lebih muda, belum menikah, dan dikenal cukup supel serta berpenampilan menarik. Dulu saat acara keluarga, Raka sering bercanda dengan Aisyah, tapi tak pernah keluar batas.

Keesokan harinya, Raka datang dengan koper besar dan senyum lebar.

“Halo, Mbak Aisyah. Wah, makin cantik aja nih istri Mas Fahmi,” ucap Raka sambil bercanda.

Aisyah menanggapinya dengan senyum sopan. “Selamat datang, Raka. Silakan istirahat dulu.”

Hari-hari pertama terasa biasa saja. Raka sibuk dengan pekerjaannya, dan Aisyah tetap menjalankan aktivitas rumah seperti biasa. Namun, perlahan Aisyah mulai merasa ada yang berubah. Tatapan Raka sesekali terasa terlalu lama, pujian-pujiannya lebih sering dan terdengar tak semestinya.

Pernah suatu sore, saat Fahmi belum pulang, Aisyah sedang menyapu halaman. Raka keluar dari kamar dengan mengenakan kaus oblong dan celana pendek.

“Mbak, Mas Fahmi beruntung banget ya,” katanya tiba-tiba.

Aisyah menoleh, bingung. “Beruntung?”

“Iya. Dapat istri kayak Mbak. Cantik, rajin, lembut.”

Aisyah terdiam. “Kamu mau makan? Aku masak sup ayam.”

“Kalau yang masak Mbak Aisyah, aku pasti doyan,” jawab Raka sambil tersenyum dengan cara yang membuat Aisyah tak nyaman.

Malam itu, Aisyah sulit tidur. Bukan karena ucapan Raka semata, tapi karena firasatnya. Ada sesuatu yang mengganggu. Tapi ia memilih diam. Ia yakin Raka tidak berniat macam-macam. Mungkin hanya terlalu terbuka. Lagipula, ia tidak ingin Fahmi merasa tertekan antara istri dan adiknya.

Namun dalam diam itu, benih ketegangan mulai tumbuh. Dan rumah yang tadinya damai, mulai terasa sempit.

Hari-hari berlalu, dan Aisyah semakin gelisah. Raka tak pernah melakukan sesuatu yang terang-terangan salah, tapi sikapnya menyisakan keganjilan. Pujian-pujian yang seharusnya biasa saja terasa sarat makna. Tatapan matanya kadang terlalu dalam, terlalu sering. Aisyah mulai menghindari momen berdua dengannya. Jika Fahmi belum pulang, ia memilih berada di kamar, atau menyibukkan diri di dapur dengan pintu tertutup.

Namun, Raka seperti tak menyadari batas. Suatu sore, saat Aisyah sedang menjemur pakaian di halaman belakang, Raka muncul tiba-tiba.

“Capek, Mbak? Sini, aku bantu.”

Aisyah tersentak, nyaris menjatuhkan baju dari jemurannya. “Nggak usah, Raka. Ini tinggal sedikit lagi.”

“Tapi aku juga pengen bantu Mbak Aisyah. Masak iya nggak boleh?” katanya sambil tertawa ringan.

Aisyah memaksa tersenyum. “Terima kasih, tapi aku bisa sendiri.”

Ada jeda yang aneh. Tatapan Raka melekat pada wajahnya, lalu turun ke pergelangan tangan Aisyah yang basah. Hanya beberapa detik. Tapi cukup membuat Aisyah ingin lari masuk ke rumah.

Malamnya, Aisyah memberanikan diri untuk membuka obrolan dengan Fahmi.

“Mi… kamu yakin Raka betah tinggal di sini?” tanyanya hati-hati.

Fahmi sedang membaca dokumen kerja di ruang tamu. “Ya, sementara ini iya. Kenapa?”

“Enggak, cuma… takut dia nggak enak udah ngerepotin,” jawab Aisyah, menyembunyikan maksud sebenarnya.

Fahmi menatap istrinya sejenak, lalu tersenyum. “Kamu baik banget, Yah. Jangan pikirin yang aneh-aneh. Raka juga tahu diri, kok.”

Aisyah mengangguk, tapi hatinya tidak tenang. Ia merasa seperti terjebak dalam ruang yang semakin sempit, di mana batas antara wajar dan tidak wajar makin kabur. Ia tak tahu harus bicara pada siapa. Pada Fahmi? Tapi ia takut Fahmi tersinggung atau menganggapnya berlebihan. Pada orang tua? Ia tak ingin memicu drama keluarga.

Hingga akhirnya, hari itu tiba.

Suatu malam, Fahmi pulang lebih awal dari biasanya. Pintu rumah diketuk tiga kali, dan Aisyah yang sedang menyiapkan makan malam langsung membukanya. Fahmi masuk, menggantung jaketnya, lalu hendak menuju kamar.

Namun langkahnya terhenti.

Dari arah ruang makan, Raka berdiri, menatap Aisyah dari belakang. Pandangannya terpaku, terlalu lama, terlalu… ganjil.

Fahmi memicingkan mata. Ia berdiri diam, memperhatikan sejenak sebelum akhirnya memanggil, “Raka.”

Raka terperanjat, seperti orang yang baru saja tertangkap basah. “Eh, Mas… udah pulang?”

“Iya,” jawab Fahmi datar. Matanya bergeser pada Aisyah, lalu kembali ke adiknya. “Ngapain berdiri di situ?”

Raka tersenyum kaku. “Tadi cuma mau nanya Aisyah masak apa.”

Aisyah merasakan tubuhnya dingin, meski dapur masih menguapkan aroma sup ayam. Untuk pertama kalinya, ia melihat tatapan Fahmi berubah. Tak ada lagi canda, tak ada lagi santai. Hanya sorot mata yang tajam dan dalam, seakan mulai menyadari sesuatu yang tak beres.

Dan sejak malam itu, ketenangan rumah mereka benar-benar goyah.

Setelah kejadian malam itu, suasana rumah berubah drastis. Tak ada yang membicarakan insiden di ruang makan, tapi keheningan yang muncul terasa berat. Raka menjadi lebih pendiam, tak lagi sering bercanda seperti sebelumnya. Fahmi juga mulai sering pulang larut, dan ketika di rumah, ia lebih banyak diam.

Aisyah merasakan tekanan yang tak kasatmata, seolah rumah yang dulu menjadi tempat istirahat kini berubah menjadi ladang ranjau yang bisa meledak sewaktu-waktu. Ia semakin menjaga jarak dari Raka. Setiap pintu dikunci rapat. Setiap langkah diperhitungkan.

Pagi itu, saat Fahmi sudah berangkat kerja dan Raka masih di kamar, Aisyah duduk sendirian di ruang tamu. Di pangkuannya ada mushaf kecil yang biasa ia baca setelah subuh. Namun kali ini, hatinya kacau. Ayat-ayat yang ia baca seakan berlari-lari tanpa bisa ia pahami. Pandangannya kabur oleh genangan air mata yang ia tahan.

Ia menunduk, berbisik dalam doa yang lirih namun penuh kegelisahan. “Ya Allah, aku ingin menjaga kehormatanku. Aku ingin menjadi istri yang taat. Tapi aku takut. Aku bingung harus bicara pada siapa.”

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari sahabat lamanya, Laila, yang kini menjadi ustadzah di pengajian ibu-ibu sekitar. “Yuk, kajian sore ini di masjid dekat taman. Tema: Hijab Emosional. Penting banget buat perempuan zaman sekarang.”

Aisyah termangu. Kalimat “hijab emosional” seperti mengetuk pintu hatinya. Ia segera membalas: “InsyaAllah aku datang, La.”

Sore harinya, Aisyah duduk di barisan belakang masjid. Laila menyampaikan materi dengan tenang dan menyentuh. Ia membahas tentang bagaimana hijab bukan sekadar penutup fisik, tapi juga penjaga batin—dari godaan, dari fitnah, dan dari rasa-rasa yang bisa merusak keutuhan rumah tangga.

“Setan itu tidak hanya menggoda lewat zina fisik. Tapi juga lewat zina hati, zina pandangan, zina perhatian. Dan kadang, yang paling dekatlah yang paling berbahaya,” ucap Laila. Kalimat itu menghunjam dada Aisyah.

Usai kajian, Aisyah menunggu Laila yang sedang berbincang dengan jamaah lain. Setelah cukup sepi, ia mendekat dan memeluk sahabatnya itu.

“La… aku boleh cerita?”

Laila menatap wajah Aisyah yang terlihat lelah dan bingung. “Tentu boleh. Ayo duduk di serambi belakang.”

Aisyah pun menceritakan semuanya. Tentang Raka, tentang tatapan yang tak wajar, tentang kegelisahan yang tak bisa ia ungkapkan pada suaminya. Laila mendengarkan tanpa menyela, lalu menggenggam tangan Aisyah erat.

“Yah… kamu tidak salah karena menjaga perasaan Fahmi. Tapi kamu juga tidak boleh membiarkan dirimu terjebak dalam situasi yang bisa jadi dosa. Ini bukan tentang kamu menuduh Raka. Tapi tentang kamu menjaga batas yang Allah sudah tetapkan.”

Aisyah menunduk, air mata jatuh perlahan.

“Apa yang harus aku lakukan?” bisiknya.

Laila tersenyum lembut. “Langkah pertama: lindungi hatimu. Jangan beri ruang pada kebimbangan. Dan langkah kedua… bicaralah pada Fahmi, tapi dengan cara yang baik. Jangan menuduh. Ceritakan perasaanmu. Karena kunci keharmonisan itu ada di kejujuran yang saling melindungi.”

Aisyah mengangguk perlahan. Malam itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, ia merasa sedikit lebih ringan. Meski jalan di depannya masih berkabut, setidaknya ia tahu, ia tak sendirian.

Sepulang dari masjid, Aisyah merasa langkahnya lebih mantap. Ia tahu malam itu akan jadi malam yang berat, tetapi bukan berarti ia bisa terus diam. Setelah menyiapkan makan malam, ia memberanikan diri bicara.

Saat Fahmi duduk di ruang tengah dengan laptopnya, Aisyah datang membawa segelas teh hangat. Ia meletakkannya di meja dan duduk di sisi Fahmi, tidak terlalu dekat, tapi cukup untuk menunjukkan keseriusan.

“Mi… boleh bicara sebentar?” suaranya lembut tapi terdengar jelas.

Fahmi menoleh, menutup laptopnya. “Tentu, ada apa?”

Aisyah menatap suaminya dalam-dalam, lalu menunduk. “Aku ingin minta maaf karena sudah lama memendam sesuatu.”

Dahi Fahmi mengernyit. “Memendam apa?”

Aisyah menarik napas. “Tentang Raka.”

Fahmi langsung tegang, tetapi diam. Aisyah pun melanjutkan, berhati-hati.

“Beberapa minggu ini… aku merasa tidak nyaman. Bukan karena Raka sengaja berbuat kasar atau terang-terangan melanggar batas. Tapi… ada hal-hal kecil yang membuatku merasa tidak aman. Cara dia memandangku, kata-kata yang dilontarkan, kehadirannya yang kadang membuatku merasa tidak bebas di rumah sendiri.”

Fahmi menunduk, menatap jemarinya yang saling menggenggam. Aisyah melanjutkan, kini suaranya sedikit gemetar.

“Aku diam karena aku nggak ingin kamu terjepit antara aku dan adikmu. Tapi makin lama, aku makin merasa aku bersalah… karena membiarkan ini berlarut, dan itu bisa mendekatkan kita ke fitnah.”

Beberapa detik berlalu tanpa suara. Hanya detik jam di dinding yang terdengar.

Akhirnya Fahmi bersuara, pelan tapi dalam. “Jadi, kamu merasa Raka melewati batas?”

“Aku tidak ingin menghakimi, Mi… tapi aku ingin kita jaga rumah tangga ini. Aku pun introspeksi diri. Mungkin ada sikapku yang keliru, mungkin aku kurang tegas. Tapi yang pasti, aku tidak ingin membiarkan ini jadi api yang membakar diam-diam.”

Fahmi menghela napas panjang. Ia menatap Aisyah dengan mata yang kini mulai memerah.

“Aku sebenarnya sudah curiga sejak hari itu… waktu aku pulang dan lihat dia menatapmu. Tapi aku mengabaikannya. Aku pikir, mungkin cuma perasaanku saja. Aku takut salah menilai adikku sendiri.”

Aisyah menggenggam tangan suaminya, lembut tapi erat. “Aku tahu ini nggak mudah untuk kamu. Tapi kamu imamku, dan aku percaya kamu akan ambil keputusan terbaik.”

Fahmi mengangguk, pelan. Matanya memandang jauh, seperti menembus dinding ruang tamu.

“Besok… aku akan bicara dengan Raka.”

Aisyah tak menjawab, hanya menunduk sambil menahan haru.

Malam itu, mereka duduk berdua dalam diam. Tapi untuk pertama kalinya, keheningan itu bukan karena jarak, melainkan karena mereka sedang membangun jembatan—di atas jurang yang hampir saja menelan semuanya.

Pagi itu berbeda. Setelah semalaman berpikir, Fahmi duduk di meja makan dengan wajah tegas. Aisyah tahu, waktunya telah tiba. Raka baru saja keluar dari kamar, rambutnya masih basah usai mandi. Saat ia melihat Fahmi duduk dengan tangan terlipat dan pandangan lurus, langkahnya terhenti.

“Mas, pagi,” sapa Raka ragu.

“Duduk, Rak,” ucap Fahmi pelan tapi tak bisa ditawar.

Raka mendekat, duduk di seberang. Aisyah yang tadinya hendak masuk ke dapur, terhenti sejenak. Fahmi menoleh ke arahnya dan mengangguk lembut, memberi isyarat agar ia tetap tinggal.

Fahmi memandang adiknya dalam-dalam. “Aku ingin bicara, sebagai kakak, sebagai tuan rumah… dan sebagai suami Aisyah.”

Raka menunduk, seperti tahu apa yang akan dibicarakan.

“Aku tahu apa yang terjadi selama ini. Aku lihat sendiri bagaimana kamu menatap Aisyah. Aku juga bisa merasakan perubahan sikapnya sejak kamu datang ke sini.”

Raka membuka mulut, ingin membela diri. Tapi Fahmi mengangkat tangannya, menghentikan.

“Aku tidak akan mempermalukanmu. Aku tidak akan menampar atau berteriak. Tapi aku harus memilih.”

Fahmi menarik napas dalam. “Aku harus memilih antara mempertahankan hubungan darah, atau menjaga rumah tanggaku dari retak dan dosa.”

Sunyi. Detik jam terdengar jelas. Aisyah menunduk, menahan napas.

“Aku tahu kamu mungkin tidak berniat… atau mungkin kamu bahkan tidak sadar sudah melewati batas. Tapi aku tidak bisa membiarkan rumah ini jadi ladang fitnah. Aku tidak bisa membiarkan istriku merasa takut di rumahnya sendiri.”

Raka menatap kakaknya, matanya mulai basah. “Aku… aku nggak bermaksud, Mas…”

“Aku tahu,” potong Fahmi. “Tapi niat baik pun bisa jadi jalan setan kalau tidak dikawal dengan iman.”

Lalu Fahmi berdiri. “Mulai hari ini, kamu harus pindah. Aku sudah carikan kos sementara, dekat kantormu. Aku bantu biayanya, aku tetap kakakmu. Tapi kamu tidak bisa tinggal di sini lagi.”

Raka tertunduk. Tak ada pembelaan. Hanya air mata yang mengalir perlahan.

Aisyah berdiri, menatap Fahmi dengan mata berkaca. Tak ada kata, tapi dalam hatinya ia tahu—Fahmi telah memilih jalan yang paling sulit, namun paling benar.

Beberapa jam kemudian, Raka meninggalkan rumah. Dengan koper yang sama seperti saat datang, tapi dengan beban yang jauh lebih berat.

Fahmi mengantar sampai depan pagar. Tak ada pelukan. Hanya pandangan yang dalam antara dua saudara yang tahu, hubungan mereka tidak akan pernah sama lagi.

Dan saat pintu rumah ditutup, Aisyah menghampiri Fahmi, lalu memeluknya dari samping.

“Terima kasih, Mi… karena kamu memilih menjaga, bukan hanya mencintai.”

Fahmi memejamkan mata, memeluknya balik. “Aku lebih takut kehilangan ridha Allah… daripada kehilangan siapa pun.”

Sudah sepekan sejak Raka meninggalkan rumah mereka. Awalnya, rumah terasa sepi. Tak ada lagi suara langkah pagi-pagi, atau tawa kecil yang dulu terdengar dari ruang tengah. Tapi Aisyah justru merasa lega. Udara di rumah itu kembali terasa bersih. Hatinya pun mulai bisa bernapas kembali.

Namun, di sisi lain, Aisyah bisa melihat betapa beratnya keputusan yang Fahmi ambil. Wajah suaminya lebih sering diam, pandangannya kosong setiap kali ia menatap foto keluarga mereka di rak kecil ruang tamu. Aisyah tahu, di balik ketegasan Fahmi waktu itu, ada luka yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Sore itu, Fahmi pulang dengan wajah lebih tenang dari biasanya. Ia duduk di beranda rumah, menatap langit yang mulai menguning.

Aisyah datang membawa dua gelas teh, lalu duduk di sampingnya. Mereka diam cukup lama, menikmati hening yang tak lagi mencekam, melainkan mendamaikan.

“Yah,” kata Fahmi pelan, “Kamu tahu… waktu kecil, Raka itu adik yang paling dekat sama aku. Dia sering ikut ke mana pun aku pergi. Aku selalu lindungi dia.”

Aisyah mendengarkan, tak menyela.

“Aku marah… bukan cuma karena dia berani melanggar batas. Tapi karena dia menghancurkan kepercayaan yang sudah aku bangun sejak kecil. Dan aku juga marah… pada diriku sendiri, karena terlalu lama menutup mata.”

Aisyah menggenggam tangan Fahmi.

“Kadang… keputusan yang benar memang menyakitkan. Tapi justru karena itu kita tahu, kita sedang berada di jalan yang Allah ridai,” ucap Aisyah lirih.

Fahmi mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca.

“Aku nggak tahu apa yang akan terjadi dengan hubungan kami nanti. Tapi aku tahu satu hal, Yah. Aku nggak mau kehilanganmu hanya karena aku takut menyakiti adikku. Kamu adalah amanah, dan aku ingin menjagamu bukan cuma sebagai istri, tapi juga sebagai partner menuju surga.”

Aisyah tersenyum tipis, menahan air mata.

“Terima kasih, Mi. Karena kamu memilih untuk jujur pada hatimu dan taat pada Allah.”

Mereka saling menatap. Tak ada janji muluk, tak ada pelukan dramatis. Tapi ada pemahaman yang dalam, bahwa cinta sejati bukan sekadar bertahan bersama, melainkan saling menjaga dari hal-hal yang bisa merusak iman dan ikatan.

Langit makin gelap, angin sore bertiup lembut. Di dalam rumah, cahaya lampu mulai menyala, menyambut malam dengan tenang.

Dan di antara dua hati yang sempat diuji, kini tumbuh kembali kepercayaan. Bukan lagi karena sekadar rasa, tetapi karena pilihan. Pilihan untuk menjunjung kehormatan, menegakkan batas, dan berjalan bersama—dalam ridha Allah.

About administrator

Kami Menyediakan Informasi Berdasarkan Sumber Yang Kredibel dan Terpecaya

Tinggalkan Balasan