Cerpen Janji di Balik Sisik: Kisah Cinta Siluman Ular Putih dan Manusia. Kalau Kamu lebih senang versi audionya, silahkan tonton di sini.
Cerpen Janji di Balik Sisik Bagian 1: Pertemuan di Sudut Sunyi
Malam itu begitu hening. Langit menggantung gelap tanpa bintang, dan suara jangkrik bersahut-sahutan dari balik semak belukar. Ragil duduk di serambi rumah kayunya yang tua, menikmati semangkuk nasi putih dan telur ceplok, hasil dari kerja keras seharian mencari kayu bakar di hutan. Rumah peninggalan orang tuanya itu memang kecil, terbuat dari papan usang yang mulai rapuh di sana-sini. Tapi baginya, itu sudah cukup. Hidup sederhana tak pernah jadi beban, meski kadang sepi terasa menggerogoti.
Tiba-tiba, suara gemerisik dari dapur membuatnya menoleh cepat. Langkahnya waspada saat ia meletakkan mangkuk dan mengambil sebilah parang yang terselip di sudut dinding. Suara itu tak biasa. Bukan suara tikus atau kecoa. Hatinya berdegup. Dengan pelan, ia berjalan menyusuri lorong sempit menuju dapur.
Di sana, matanya langsung tertuju pada seekor ular putih besar, tubuhnya melingkar di dekat tungku yang masih hangat. Sisiknya berkilau keperakan diterpa cahaya lampu minyak. Ragil menahan napas. Bukan karena takut, tapi karena heran—belum pernah ia melihat ular sebesar dan seindah itu. Tapi ia tahu, tetap saja itu bisa berbahaya. Ia mengangkat parangnya, siap menebas kepala sang ular dalam sekali tebas.
Namun sebelum parang itu bergerak, sebuah suara lembut dan jelas menembus udara.
“Tolong… jangan bunuh aku.”
Ragil membeku. Parangnya masih terangkat, tapi tubuhnya gemetar. Suara siapa itu? Tak mungkin ular bicara. Tapi suara itu berasal dari hadapannya, dari makhluk bersisik itu. Ia mundur selangkah, menelan ludah.
“Aku mohon… Aku bukan ular biasa. Aku datang bukan untuk menyakiti, melainkan mencari perlindungan,” lanjut suara itu lirih, seperti mendesak.
Tubuh Ragil lemas. Ia menurunkan parang, napasnya memburu, matanya menatap penuh waspada dan tak percaya.
Kemudian, dari tubuh ular itu memancar cahaya putih yang lembut. Cahaya itu membungkus tubuhnya, memanjang dan berubah. Dalam hitungan detik, sosok ular itu telah tiada, digantikan oleh seorang perempuan muda dengan paras yang tak tergambarkan indahnya. Kulitnya seputih salju, rambut panjang hitam legam menjuntai sampai pinggang. Ia mengenakan kain putih tipis berkilau seperti kabut pagi. Wajahnya tenang, sorot matanya teduh.
Ragil tak bisa berkata apa-apa. Parangnya terjatuh ke lantai.
“Aku Ayunda,” ucap perempuan itu lembut. “Terima kasih telah menyelamatkanku.”
Cerpen Janji di Balik Sisik Bagian 2: Janji dalam Diam
Hari-hari berlalu dengan tenang setelah malam aneh itu. Ragil, yang dulu hidup dalam kesendirian dan keheningan, kini merasakan kehangatan yang belum pernah ia alami sebelumnya. Ayunda, perempuan misterius yang pernah muncul dari wujud ular putih, kini telah menjadi bagian dari hidupnya. Ia tak pernah bertanya lebih jauh tentang asal-usulnya, karena hatinya merasa cukup dengan kehadiran Ayunda.
Ayunda membawa terang ke dalam rumah Ragil yang dulu gelap dan sunyi. Ia pandai memasak, merawat rumah, dan bahkan tak segan membantu menanam di kebun belakang. Senyumnya selalu mengembang, tutur katanya lembut, dan sikapnya penuh perhatian. Dalam waktu singkat, desas-desus pun mulai muncul dari warga sekitar. Si miskin Ragil yang dulu pemurung, kini tampak cerah dan bahagia, dan konon tinggal bersama seorang perempuan cantik tak dikenal.
Meski tetangga sempat bertanya, Ragil hanya menjawab dengan senyum, tidak memberi banyak penjelasan. Ia merasa, semakin ia menyembunyikan rahasia Ayunda, semakin tenang hidup mereka.
Malam itu, saat langit memamerkan bulan purnama yang menggantung sempurna, Ragil duduk di serambi rumah bersama Ayunda. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma bunga kenanga dari kebun belakang. Ragil menatap Ayunda yang duduk di sampingnya, rambutnya terurai tertiup angin, dan sorot matanya menatap rembulan seperti menatap masa lalu.
“Ayunda…” bisik Ragil. “Aku tidak tahu bagaimana hidupku sebelum kamu datang. Aku seperti kayu lapuk, kering dan tak berguna. Tapi sejak kau di sini… rasanya aku hidup.”
Ayunda menoleh, matanya berkaca-kaca. “Aku pun merasakan hal yang sama. Kau menolongku ketika kau bisa saja menghabisiku. Itu bukan hal kecil bagiku.”
Ragil menggenggam tangan Ayunda. “Aku ingin kau jadi istriku. Menemani sisa hidupku, dalam susah dan senang.”
Ayunda menarik napas dalam, lalu menunduk. Wajahnya tampak ragu sesaat, namun ia kemudian mengangguk pelan.
“Aku pun mencintaimu, Ragil. Tapi… sebelum aku menerima pinanganmu, kau harus tahu satu hal yang sangat penting.”
Ragil menatap lekat wajahnya. “Katakanlah.”
Ayunda berdiri, lalu menatap langit. “Aku berasal dari dunia lain. Dunia yang tidak bisa kau bayangkan. Aku anak dari raja kerajaan ular putih yang sangat melarangku datang ke dunia manusia. Tapi aku nekat karena satu hal—karena hatiku terpanggil padamu, Ragil. Karena ketulusanmu.”
Ragil terpaku. Namun rasa cintanya lebih kuat dari rasa herannya. “Lalu… apa yang harus kulakukan?”
Ayunda menoleh, menatap Ragil dalam-dalam. “Kau harus berjanji. Jika kita menikah, kau tak boleh menceritakan siapa aku sebenarnya. Tak kepada siapa pun. Bahkan kepada anak-anak kita nanti. Karena bila janji itu dilanggar… maka aku harus kembali ke tempat asalku dan tak bisa bersamamu lagi.”
Ragil berdiri dan menggenggam kedua tangan Ayunda dengan yakin.
“Demi Tuhan dan cinta ini, aku berjanji. Aku tak akan pernah membuka rahasiamu.”
Ayunda mengangguk. Di balik matanya yang bening, Ragil melihat harapan… dan kekhawatiran yang dalam.
Cerpen Janji di Balik Sisik Bagian 3: Godaan yang Membelah Janji
Pernikahan Ragil dan Ayunda berlangsung sederhana namun penuh kehangatan. Meskipun tak mengundang banyak orang, tampak jelas bahwa mereka saling mencintai. Sejak hari itu, kehidupan Ragil berubah drastis. Rumah reyotnya berubah menjadi rumah kayu yang kokoh dan indah, dengan ukiran halus dan halaman yang penuh bunga harum. Ladangnya menghasilkan panen berlimpah, ternaknya berkembang pesat, dan emas mulai mengalir ke laci-laci rumah tanpa Ragil tahu persis dari mana datangnya.
Desa pun mulai kagum—dan cemburu. Si Ragil, yang dahulu melarat, kini hidup dalam kemewahan. Tak sedikit pula yang berbisik di belakang, menduga ia memakai ilmu hitam atau pesugihan. Tapi Ragil tak peduli. Ia terlalu sibuk menikmati kehidupan barunya bersama Ayunda dan seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Dewa, buah cinta mereka yang lahir dua tahun setelah pernikahan.
Dewa tumbuh sebagai anak cerdas dan tampan. Wajahnya mirip Ayunda—bersih dan teduh. Namun, dari balik segala kebahagiaan itu, godaan mulai menyusup perlahan ke dalam hati Ragil.
Kekayaan membuatnya percaya diri. Banyak perempuan desa menggoda dengan senyum dan pujian, beberapa di antaranya bahkan secara terang-terangan menawarkan diri untuk menjadi istri kedua. Ragil yang dulunya pemalu dan rendah hati mulai berubah. Ia merasa dirinya pantas untuk memiliki lebih dari satu istri. “Tuhan memberkatiku dengan kekayaan,” pikirnya, “mengapa aku tak boleh menikmati lebih?”
Ketika ia menyampaikan niat itu kepada Ayunda, wajah sang istri pucat. Ia memandangi suaminya dengan pandangan luka yang dalam.
“Ragil… aku tahu hatimu sedang goyah. Tapi ketahuilah, kehadiranku dan semua berkah ini datang karena kita menjaga satu janji suci. Bila kau menghianatinya, tak hanya aku yang akan pergi—semua yang kita miliki pun akan lenyap.”
Namun Ragil tak mengindahkannya. Ia mulai sering keluar malam, menjamu tamu, bahkan pulang larut dengan aroma wewangian asing yang tidak dikenali Ayunda. Hatinya mulai berubah—ada kesombongan dan ketamakan yang perlahan tumbuh seperti duri di dalam dadanya. Ayunda tetap setia, tetap mendampingi, meski kesedihan tergurat di wajahnya hari demi hari.
Sampai pada suatu malam, saat Ayunda menegurnya dengan lembut tentang niat memperistri wanita lain, Ragil meledak.
“Sudah cukup! Kau ini siapa sebenarnya?! Jangan ajari aku menjadi suami. Kau… hanya siluman ular yang kujadikan istri! Kalau bukan karena aku, kau masih merayap di tanah!”
Ayunda terdiam. Matanya basah.
Yang tak disadari Ragil, anak mereka, Dewa, berdiri di ambang pintu dan mendengar semua itu. Ia menatap sang ayah dengan mata bulat yang bingung dan terluka.
Ragil, masih terbakar emosi, menoleh dan menuding ke arah anaknya. “Dan kau! Kau itu anak dari siluman ular terkutuk! Jangan berpura-pura suci!”
Dewa menangis, lari ke dalam kamar. Ayunda, yang sejak awal memohon agar janji itu dijaga, kini tahu: janji itu telah dilanggar.
Di dalam hatinya yang terluka, suara ayahnya—raja ular putih—bergema kembali: “Jika manusia mengkhianatimu, pulanglah, anakku. Tak ada tempat untuk kejujuran di hati manusia.”
Dengan air mata jatuh tak terbendung, Ayunda memeluk anaknya. Malam itu, langit mendung. Angin bertiup kencang. Dan sesuatu yang besar tengah bergerak di dunia bawah tanah.
Cerpen Janji di Balik Sisik Bagian 4: Kepergian dalam Tangis
Malam itu hujan turun deras. Kilat menyambar-nyambar langit, seolah langit sendiri marah atas perbuatan Ragil. Di dalam rumah besar yang dulu dibangun dari berkah janji suci, Ayunda duduk di samping tempat tidur sambil memeluk Dewa yang masih terisak dalam pelukannya.
Tubuh kecil itu gemetar, bukan karena dingin, tetapi karena luka yang ditorehkan oleh kata-kata ayahnya. Mata Dewa memandang ibunya dengan bingung. “Bu… benarkah aku anak dari siluman?” tanyanya lirih.
Ayunda tak sanggup menjawab. Ia hanya mencium kening anaknya dan menggenggam tangannya erat.
Dalam diam, ia tahu, waktunya telah tiba. Janji telah dilanggar. Ragil, lelaki yang dulu tulus dan sederhana, telah dikalahkan oleh kesombongan dan nafsu. Kata-kata yang keluar dari mulutnya tadi malam tak bisa ditarik kembali. Mereka adalah palu yang memecahkan perjanjian lama, dan gema dari janji itu kini memanggil Ayunda kembali ke asalnya—ke dunia kerajaan ular putih yang telah ia tinggalkan demi cinta.
Ayunda bangkit. Ia berjalan menuju kamar di mana Ragil masih tertidur dengan wajah penuh kelelahan dan amarah yang belum reda. Ia memandangi suaminya lama, sangat lama. Ada cinta yang masih tersisa, namun juga luka yang dalam. Ia menunduk, mencium punggung tangan Ragil, lalu berbisik:
“Selamat tinggal, Ragil. Aku mencintaimu… tapi kau telah melupakan siapa aku dan dari mana aku berasal.”
Ia menggenggam tangan Dewa, lalu berjalan menuju pintu belakang rumah. Dari sana, ia melangkah ke kebun tempat pertama kali ia tinggal sebagai manusia. Hujan menyambut mereka. Di bawah pohon beringin tua yang berdiri kokoh, tanah mulai merekah perlahan, menganga seperti mulut raksasa.
Ayunda menatap anaknya. “Kita pulang, Nak. Ibumu tak lagi bisa tinggal di sini. Dunia ini tak lagi menerima kami.”
Dewa memeluk ibunya, bingung, takut, dan sedih. “Tapi Ayah…”
Ayunda hanya tersenyum pilu. “Ayahmu… telah memilih jalannya.”
Saat tanah benar-benar terbuka, cahaya putih menyinar dari dasar celah itu. Ular-ular putih bermunculan, melingkar di sekitar Ayunda dan Dewa, seolah menyambut sang putri kembali. Mereka perlahan turun ke dalam celah itu, dan ketika langkah terakhir Ayunda menginjak ambang, tanah kembali menutup dengan suara menggelegar.
Ragil terbangun karena suara itu. Ia keluar dari kamar dan memanggil-manggil nama Ayunda dan Dewa. Tak ada jawaban. Ia mencari ke seluruh rumah, lalu ke pekarangan, lalu ke kebun. Yang ia temukan hanyalah tanah basah di bawah pohon beringin, dan jejak kaki yang samar menghilang di tengah lumpur.
“AYUNDA! DEWAAA!!” teriaknya histeris.
Namun malam telah menelan segalanya.
Di istana kerajaan ular putih yang megah di bawah tanah, Raja Ular—seekor naga raksasa bermata tajam dan mahkota berkilauan—berdiri di singgasananya. Wajahnya keras dan penuh murka.
“Manusia itu telah mengkhianatimu, anakku.”
Ayunda hanya menunduk sambil memeluk Dewa.
“Aku sudah memperingatkanmu,” lanjut sang raja, “dan kini aku akan menuntut balas atas luka yang ia torehkan padamu.”
Sang raja mengangkat kepalanya tinggi, dan seluruh kerajaan bergemuruh. Ular-ular putih mulai bergerak, dan bumi pun bergetar.
Hari pembalasan telah tiba.
Cerpen Janji di Balik Sisik Bagian 5: Hari Pembalasan dan Penyesalan
Tanah desa berguncang. Pohon-pohon tua merintih seolah akar mereka diseret dari dalam bumi. Hewan-hewan berlarian tak tentu arah, dan langit diselimuti awan hitam pekat seperti tirai duka. Warga desa keluar dari rumah masing-masing, menatap sekitar dengan cemas. Tak ada yang tahu bahwa di balik getaran itu, kekuatan purba tengah bangkit dari kedalaman bumi—dipimpin oleh makhluk agung, sang Raja Ular Putih.
Di tengah ladang yang mulai retak, Ragil berlari tak tentu arah. Pakaianya basah dan kotor, wajahnya dipenuhi tanah dan air mata. Ia telah kehilangan segalanya—istrinya, anaknya, bahkan dirinya sendiri. Ketamakan dan amarah telah membutakan hatinya hingga menghancurkan kebahagiaan yang dulu ia anggap tak ternilai.
Ketika langit menggelap total, dari tengah bukit muncullah sosok raksasa berkilau. Mata merahnya menyala, tubuhnya dilapisi sisik putih mengilap bagai permata, dan di kepalanya bertengger mahkota dari batu giok. Raja Ular Putih menatap ke arah Ragil dengan sorot mata yang penuh murka dan kekecewaan.
“Ragil…” suaranya menggema seperti gemuruh. “Kau adalah manusia yang dulu anakku percaya. Yang ia pilih, meski harus meninggalkan kerajaannya. Tapi lihat apa yang kau lakukan padanya!”
Ragil tersungkur. “Aku… aku bodoh. Aku khilaf. Aku tak tahu semua ini akan terjadi…”
“Kau melukai hatinya. Kau menghina asal-usulnya, mengutuk darah anakmu sendiri, hanya karena kesombongan yang tumbuh dari rejeki yang kau dapat darinya.”
Ragil menangis, tubuhnya menggigil.
“Ambillah segalanya dariku, Tuan. Tapi kembalikan anak dan istriku… Aku bersedia hidup kembali miskin, sendiri, bahkan mati… asal mereka kembali.”
Namun Raja Ular hanya menatap dingin. Dari balik tubuh raksasanya, muncullah Ayunda dengan mengenakan pakaian istana. Dewa berjalan di sampingnya, memegang erat tangan ibunya.
Ayunda berdiri lama menatap Ragil yang berlutut di tanah. Air matanya jatuh, tapi wajahnya tegas. Tak ada lagi senyum lembut seperti dulu. Hanya kesedihan yang tertahan.
“Aku mencintaimu, Ragil. Dan aku masih mencintaimu. Tapi cinta tanpa kepercayaan hanyalah luka yang menunggu untuk berdarah,” ucap Ayunda lirih.
Dewa menatap ayahnya, kebingungan. “Ayah… kenapa Ayah bilang aku anak terkutuk?” tanyanya dengan suara kecil.
Kalimat itu menampar Ragil lebih keras dari amarah siapa pun. Ia merangkak ke depan, ingin menyentuh anaknya, namun ular-ular putih melingkar menghalanginya.
“Aku… aku salah, Nak. Ayah hanya… terlalu gelap hatinya. Maafkan Ayah…”
Dewa menunduk. Ayunda mengangkat anaknya dan memalingkan wajah.
“Aku harus pergi, Ragil. Janji telah dilanggar, dan tempatku bukan lagi di sini.”
Celah terbuka di bawah kaki sang raja. Ayunda dan Dewa perlahan turun, dikelilingi cahaya dan arakan ular-ular putih.
“Selamat tinggal,” ucap Ayunda terakhir kali.
Dan dalam sekejap, celah itu menutup. Tanah berhenti berguncang. Langit kembali cerah. Tapi sunyi menyelimuti segalanya.
Ragil hidup seorang diri setelah hari itu. Rumah besar berubah jadi reruntuhan. Harta yang dulu ia banggakan lenyap begitu saja. Ia kembali ke gubuk kecilnya, hidup dari ladang seadanya.
Tiap malam, ia duduk di bawah pohon beringin tua, menatap bulan yang sama yang dulu menyaksikan janji cintanya. Ia berbicara dalam bisikan, seolah Ayunda masih bisa mendengarnya.
“Aku masih mencintaimu… Ayunda. Aku akan menunggu… sampai kapan pun.”