Kisah Cerita Sejarah Asal Usul Kota Surabaya

Kisah Cerita Sejarah Asal Usul Kota Surabaya

Inilah dongeng rakyat dan kisah cerita sejarah asal usul kota Surabaya. Silahkan disimak berikut ini.

Kisah Cerita Sejarah Asal Usul Kota Surabaya

Pada masa lampau, jauh sebelum kota besar berdiri di tepi utara Pulau Jawa negara Indonesia, terbentanglah sebuah wilayah subur yang diapit oleh sungai dan laut. Orang menyebutnya sebagai tanah pertemuan arus, tempat sungai yang tenang bertemu dengan ombak yang bergulung dari lautan luas. Di wilayah inilah kelak sebuah kota besar akan lahir, kota yang kini dikenal sebagai Surabaya.

Alamnya sangat kaya. Sungai membawa lumpur kesuburan dari pedalaman, sedangkan laut menghadirkan hasil tangkapan ikan yang melimpah. Penduduk yang hidup di sana sebagian besar adalah nelayan dan peladang. Mereka hidup berdampingan dengan alam, memahami setiap perubahan arus air, setiap musim pasang, dan setiap hembusan angin yang membawa kabar tentang cuaca. Dalam pandangan mereka, sungai dan laut bukan sekadar tempat mencari rezeki tetapi juga rumah bagi makhluk makhluk besar yang disegani.

Di antara semua cerita yang beredar, ada satu legenda yang selalu diceritakan dari generasi ke generasi. Legenda tentang dua makhluk penguasa alam. Yang satu adalah makhluk laut, seekor hiu besar yang gesit dan buas, dikenal dengan nama Sura. Yang satu lagi adalah penguasa sungai, seekor buaya perkasa yang disebut Baya. Dua makhluk ini bukan sekadar hewan biasa, mereka digambarkan sebagai makhluk sakti yang mampu mengguncang air hanya dengan kibasan ekor dan mampu mengubah arus dengan kekuatan mereka.

Pada awalnya, wilayah itu damai. Sura berkuasa di laut, sedangkan Baya menjaga sungai. Keduanya memiliki batas wilayah yang jelas. Laut adalah milik Sura, sungai adalah kekuasaan Baya. Namun seiring waktu, ketenangan itu mulai terusik. Ombak dan arus yang biasanya harmonis mulai berubah. Cerita besar pun akan segera dimulai dari tempat ini, dari pertemuan air sungai dan air laut, dari legenda dua penguasa yang kelak namanya diabadikan dalam sejarah kota Surabaya.

Hari demi hari, Sura si hiu mulai merasa wilayah lautnya terlalu sempit. Ia terbiasa berburu ikan di lautan lepas, namun semakin lama jumlah mangsa berkurang. Gelombang laut yang deras membuatnya sulit mencari makanan. Sementara itu, dari jauh ia melihat sungai yang tenang, jernih, dan penuh ikan segar. Sura pun mulai berpikir bahwa wilayah sungai tampak lebih menjanjikan.

Suatu malam ketika bulan purnama menggantung di langit, Sura berenang perlahan menuju muara. Air pasang memudahkan langkahnya, dan arus yang lembut seolah memberi jalan. Saat sampai di perbatasan antara laut dan sungai, Sura merasakan air yang lebih tenang dan ikan ikan yang berenang berkelompok. Ia langsung menyambar satu, dua, hingga banyak ikan. Dalam sekejap, sungai menjadi wilayah buruannya.

Namun tindakan Sura tidak luput dari perhatian Baya. Sang buaya besar yang sedang beristirahat di tepi sungai mendengar kegaduhan di air. Dengan cepat Baya menyelam dan mendekati sumber suara. Ia melihat Sura dengan mulut penuh ikan. Amarah pun menyala di dada Baya. Sungai adalah wilayah kekuasaannya. Tidak seorang pun atau makhluk apa pun boleh mengambil hasil dari perairannya tanpa izin.

Baya muncul ke permukaan dengan suara gemuruh. Sura terkejut namun tidak mundur. Baya memperingatkannya agar segera pergi. Sura menolak dan membalas dengan tawa mengejek. Ia merasa lebih kuat dan cepat di air. Baya merasa dilecehkan. Perseteruan pun pecah. Air sungai yang semula tenang bergolak hebat. Ombak kecil bermunculan di muara, angin bertiup kencang, dan ikan ikan berlarian ketakutan.

Itulah awal dari pertempuran besar antara penguasa laut dan penguasa sungai. Sebuah pertempuran yang kelak tak hanya mengguncang air, tetapi juga membentuk cerita yang akan hidup ratusan tahun kemudian.

Sura dan Baya saling menatap tajam di antara arus sungai yang bergejolak. Bulan purnama bersinar terang, memantulkan cahaya ke permukaan air yang mulai bergolak. Dalam sekejap, ketegangan di udara berubah menjadi pertarungan sengit. Sura dengan tubuhnya yang panjang dan gesit meluncur cepat, mencoba menyerang dari samping. Baya tidak tinggal diam, ia membalikkan tubuh besar dan menyambut serangan dengan rahang kuatnya.

Pertempuran berlangsung sengit. Air sungai terciprat ke segala arah, ombak kecil terbentuk dari setiap kibasan ekor keduanya. Ikan ikan yang biasanya berenang damai di muara kini tercerai berai. Burung burung laut yang biasa bertengger di tepi sungai pun terbang menjauh. Suara benturan antara rahang dan sirip terdengar keras, seperti suara kayu yang patah. Sesekali Sura menyerang dengan kecepatan tinggi, namun Baya mampu menahan dengan kekuatan rahangnya.

Pertarungan ini tidak hanya soal wilayah. Ini tentang harga diri. Sura merasa laut sudah cukup memberinya kekuasaan, namun ia juga menginginkan sungai. Baya tidak rela tanah kelahirannya direbut makhluk laut. Semakin lama, pertarungan kian ganas. Air berubah keruh. Ranting dan dedaunan hanyut terbawa arus. Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya.

Warga yang tinggal di tepian sungai melihat kilasan air yang bergolak. Mereka tidak berani mendekat, namun bisik bisik mulai terdengar di antara mereka. “Itu Sura dan Baya sedang bertarung,” kata seorang tua dengan suara bergetar. Mereka percaya bahwa dua makhluk besar itu bukan makhluk biasa. Pertarungan mereka dipercaya akan membawa tanda besar bagi masa depan wilayah itu.

Hingga menjelang fajar, pertarungan belum juga usai. Sura dan Baya sama sama terluka, namun tidak satu pun dari mereka mau mengalah. Pertempuran ini baru permulaan dari kisah panjang yang kelak akan melahirkan nama besar yang dikenang hingga kini.

Pertempuran itu akhirnya membuat keduanya kelelahan. Air sungai mulai kembali tenang meski masih menyisakan keruhnya bekas pertempuran. Sura dan Baya muncul ke permukaan dengan luka di tubuh masing masing. Keduanya menyadari bahwa perkelahian panjang itu tidak akan membawa kemenangan yang jelas. Sura terlalu cepat untuk ditangkap, Baya terlalu kuat untuk ditundukkan. Maka mereka memutuskan untuk berbicara.

Di bawah langit pagi yang mulai terang, Sura dan Baya sepakat untuk membagi wilayah kekuasaan. Sungai akan tetap menjadi wilayah Baya. Laut akan menjadi tempat Sura berburu dan berkuasa. Garis batas ditentukan di muara, tempat air sungai dan air laut bertemu. Mereka berjanji untuk tidak saling melanggar kesepakatan itu. Jika salah satu melanggar, maka pertempuran berikutnya akan menjadi penentuan akhir.

Kesepakatan itu membuat keadaan kembali tenang. Arus sungai mengalir seperti biasa. Ikan ikan kembali berenang bebas. Penduduk yang sempat ketakutan mulai melanjutkan kehidupan mereka. Namun dalam hati kecilnya, Sura merasa tidak puas. Ia menginginkan lebih. Ia merasa sungai adalah tempat yang lebih mudah untuk berburu. Dalam pikirannya, Baya yang besar dan lambat bukanlah lawan yang pantas untuk membatasi kebebasannya.

Hari demi hari berlalu. Luka di tubuh mereka mulai sembuh, namun dalam hati Sura tumbuh niat untuk melanggar janji. Suatu malam saat Baya tertidur di tepian sungai, Sura menyelinap masuk dengan tenang. Arus malam membuat pergerakannya tidak terdengar. Ia kembali memburu ikan di wilayah Baya. Air sungai beriak pelan saat Sura meluncur di bawah permukaan. Ia merasa yakin Baya tidak akan tahu.

Namun naluri penguasa sungai tidak pernah tidur. Baya terbangun dan mencium kehadiran Sura. Amarah pun membara lagi. Kesepakatan telah dilanggar. Dan kini, tidak ada jalan kembali bagi keduanya.

Amarah Baya meledak begitu ia melihat Sura melanggar kesepakatan. Tanpa ragu, sang buaya besar menerjang arus sungai dengan cepat. Suara air bergemuruh memecah kesunyian malam. Sura yang sedang berburu ikan tersentak kaget namun tidak gentar. Kedua penguasa air itu kembali saling berhadapan di muara, tempat yang menjadi saksi dari perjanjian mereka. Tidak ada kata maaf malam itu. Yang ada hanyalah amarah dan kebanggaan yang tidak mau tunduk.

Pertarungan kedua ini jauh lebih sengit dibanding sebelumnya. Sura menyerang dengan kecepatan tinggi, mencoba menghindari rahang Baya yang kuat. Namun Baya lebih siap kali ini. Ia memutar tubuhnya dan menutup setiap celah pelarian. Air bergolak hebat. Ombak kecil membentur tepian. Ikan ikan kembali tercerai berai. Bulan purnama yang masih tergantung di langit menyinari air yang berputar seperti pusaran.

Penduduk yang mendengar suara gemuruh keluar dari rumah mereka. Dari tepian sungai, mereka menyaksikan bayangan dua makhluk raksasa bertarung. Mereka tahu, pertarungan itu akan menentukan siapa penguasa sejati wilayah tersebut. Malam itu, darah dan air menyatu menjadi satu arus. Pertempuran berlangsung hingga menjelang fajar. Akhirnya Sura memutuskan untuk mundur. Tubuhnya penuh luka, dan ia tahu sungai bukan lagi tempatnya. Ia kembali ke laut, meninggalkan muara dalam keadaan porak poranda.

Baya muncul ke permukaan dengan napas berat namun penuh kemenangan. Penduduk memandangnya sebagai penjaga sungai, sebagai simbol ketangguhan. Sejak saat itu, kisah Sura dan Baya menyebar ke seluruh penjuru. Nama mereka melekat dalam ingatan rakyat. Orang orang menyebut wilayah itu dengan gabungan nama dua makhluk sakti tersebut, Sura dan Baya. Lambat laun, nama itu menjadi Surabaya.

Bagi masyarakat, Surabaya bukan sekadar nama. Ia adalah lambang keberanian menghadapi bahaya. Legenda ini menjadi bagian dari identitas kota, mengajarkan semangat pantang menyerah kepada generasi berikutnya.

Baca Juga : Kisah Cerita Sejarah Asal Usul Kota Bandung

About administrator

Kami Menyediakan Informasi Berdasarkan Sumber Yang Kredibel dan Terpecaya

Tinggalkan Balasan