Berikut ini adalah cerita nusantara asal usul wonogiri dari Alkisahnews.com. Di kaki pegunungan yang sunyi, diapit hutan rimba dan lembah yang luas, terbentang sebuah wilayah yang kelak dikenal sebagai Wonogiri. Namun pada masa lampau, tanah ini masih berupa hutan lebat penuh pohon besar dan aliran sungai yang deras. Orang-orang menamainya Wana Giri, yang berarti “hutan di pegunungan.” Nama itu belumlah resmi, melainkan sekadar sebutan yang hidup di tengah masyarakat yang mengembara dari satu lembah ke lembah lain.
Konon, pada zaman kerajaan Mataram, hutan ini menjadi tempat pengungsian para prajurit yang kalah perang. Mereka mencari tempat aman untuk menyembuhkan luka, menghindari kejaran musuh, dan memulai hidup baru. Hutan yang seolah tak berujung itu memberi perlindungan. Mereka menebang pepohonan, membuka lahan, lalu bercocok tanam dengan sederhana. Dari situlah muncul perkampungan kecil pertama yang kemudian berkembang menjadi dusun-dusun.
Cerita turun-temurun juga menyebut adanya seorang tokoh sakti bernama Ki Ageng Wonolelo. Dialah yang dianggap membuka lahan pertama di wilayah Wonogiri. Dengan kesaktian dan kewibawaannya, Ki Ageng memimpin masyarakat setempat untuk hidup rukun, membangun pemukiman, dan menghormati alam. Ia mengajarkan tata cara bersawah, menanam padi, serta menjaga keseimbangan antara manusia dengan hutan. Hingga kini, namanya masih kerap disebut dalam tradisi lisan masyarakat Wonogiri.
Alam Wonogiri kala itu bagaikan rahasia yang tersembunyi. Gunung-gunung batu menjulang, goa-goa dalam menyimpan cerita, dan sungai-sungai menjadi sumber kehidupan. Masyarakat percaya bahwa tanah ini dijaga oleh makhluk halus penunggu hutan. Maka setiap kali membuka lahan, mereka selalu mengadakan selamatan—memohon izin kepada penjaga alam agar tidak menimbulkan marabahaya. Dari sinilah benih kebudayaan Wonogiri lahir: kebersatuan manusia, alam, dan keyakinan spiritual yang berpadu menjadi identitas.
Seiring berlalunya waktu, kabar tentang hutan luas di selatan Mataram terdengar hingga ke telinga para bangsawan kerajaan. Tanah yang subur, air yang melimpah, serta hutan yang kaya hasil bumi dianggap sebagai berkah yang sayang jika dibiarkan kosong. Maka utusan kerajaan dikirim untuk meninjau, dan mereka menemukan bahwa di balik lebatnya rimba, telah tumbuh komunitas kecil yang dipimpin oleh tokoh kharismatik, Ki Ageng Wonolelo.
Kedatangan utusan kerajaan membawa angin baru. Para penduduk diminta menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Mataram. Tidak semua orang setuju pada awalnya, sebab sebagian besar merasa tanah itu adalah milik leluhur mereka, hasil jerih payah menebang dan membuka hutan. Namun berkat kebijaksanaan Ki Ageng Wonolelo, masyarakat akhirnya menerima. Ia meyakinkan mereka bahwa bergabung dengan kerajaan justru akan membawa perlindungan dan kesejahteraan.
Dari situlah, hutan Wana Giri perlahan berubah. Jalan-jalan kecil mulai dibuka, sawah-sawah meluas, dan hasil panen dikirimkan sebagai tanda kesetiaan kepada kerajaan. Masyarakat setempat belajar seni, bahasa, dan tata cara istana, tetapi tetap mempertahankan tradisi mereka yang unik. Wana Giri tidak lagi hanya hutan, melainkan sebuah daerah berkembang dengan jiwa baru.
Konon, pada masa ini pula nama Wana Giri mulai dipadatkan menjadi Wonogiri. Kata wana berarti hutan, sedangkan giri berarti gunung. Nama itu menggambarkan bentang alam khas daerah tersebut—pegunungan berbatu yang dilingkupi hutan hijau. Namun bagi masyarakat, Wonogiri bukan sekadar nama geografis. Ia menjadi lambang perjuangan, persatuan, dan ikatan antara rakyat dengan kerajaan.
Dalam setiap upacara adat, mereka mengingat masa transisi ini sebagai titik penting: dari hutan terpencil menjadi daerah yang diakui kerajaan, dari pengembara sederhana menjadi masyarakat dengan identitas kuat. Wonogiri lahir dari akar rakyat kecil, namun tumbuh dengan sayap kerajaan besar.
Setelah Wonogiri resmi menjadi bagian dari kerajaan, daerah ini mulai dikenal bukan hanya karena kesuburannya, tetapi juga karena bentang alamnya yang penuh misteri. Gunung-gunung batu karst menjulang laksana dinding raksasa, menyimpan rahasia di dalam perut bumi. Goa-goa yang dalam menjadi tempat peristirahatan para pertapa, tempat mencari wangsit, dan pusat lahirnya legenda-legenda rakyat.
Salah satu kisah yang melegenda adalah tentang Goa Putri Kencono. Konon, di dalam goa tersebut bersemayam seorang putri yang memiliki kecantikan luar biasa. Ia dipercaya sebagai jelmaan makhluk halus penjaga Wonogiri. Banyak orang datang membawa sesaji, berharap mendapat berkah, keselamatan, dan rezeki melimpah. Hingga kini, kisah itu tetap hidup, diwariskan turun-temurun sebagai cerita rakyat yang memberi warna mistis bagi Wonogiri.
Selain goa, batu-batu raksasa juga menjadi bagian dari legenda. Ada yang percaya batu-batu itu adalah jelmaan prajurit atau makhluk sakti yang dikutuk karena melanggar janji. Dari cerita-cerita inilah masyarakat Wonogiri belajar nilai-nilai moral: pentingnya setia, jujur, dan menjaga harmoni dengan alam.
Tak hanya legenda, alam Wonogiri juga memberi kehidupan nyata. Sungai-sungai yang mengalir deras menjadi sumber pengairan sawah. Hutan menyediakan kayu dan hasil bumi. Gunung berbatu meski keras, tetapi menyimpan sumber daya yang kelak berguna bagi pembangunan. Semua ini membuat masyarakat Wonogiri semakin percaya bahwa tanah mereka bukan sekadar tempat tinggal, melainkan tanah yang dikaruniai kekuatan gaib sekaligus kekayaan alami.
Bagi para leluhur, Wonogiri adalah tanah yang “hidup”—setiap batu, goa, dan pohon memiliki jiwa. Maka lahirlah tradisi selamatan, sesaji, dan doa yang hingga kini masih dijalankan sebagian masyarakat. Di balik kerasnya batu dan sunyinya goa, Wonogiri menyimpan cerita yang meneguhkan identitas spiritual warganya.
Seiring perjalanan waktu, Wonogiri menghadapi tantangan besar: tanahnya yang berbatu kapur membuat sawah sulit digarap, terutama saat musim kemarau panjang. Air seringkali menjadi barang langka, dan masyarakat harus berjalan jauh untuk mendapatkannya. Kondisi ini membuat kehidupan di Wonogiri keras dan penuh perjuangan.
Namun, sejarah mencatat sebuah titik balik penting pada abad ke-20, ketika pemerintah membangun sebuah proyek raksasa: Waduk Gajah Mungkur. Waduk ini bukan sekadar bendungan, melainkan lambang kebangkitan Wonogiri. Dibangun dengan menenggelamkan ratusan desa di sekitarnya, proyek ini meninggalkan kisah haru—banyak keluarga harus rela meninggalkan rumah dan tanah leluhurnya demi sebuah harapan baru.
Meski penuh pengorbanan, kehadiran waduk ini membawa kehidupan. Air yang tertampung mampu mengairi ribuan hektar sawah, mengurangi banjir di daerah hilir Bengawan Solo, sekaligus menjadi sumber listrik dan perikanan. Wonogiri yang dulu dikenal sebagai tanah kering berbatu, kini berubah menjadi daerah dengan jantung air yang luas, seolah memeluk masyarakatnya dengan janji kemakmuran.
Waduk Gajah Mungkur pun melahirkan cerita baru. Dari tepiannya, masyarakat membangun perekonomian baru lewat wisata, perahu, dan ikan hasil tangkapan. Anak-anak bermain di pinggir waduk, sementara orang tua mengenang kampung halaman yang kini tertidur di dasar air. Bagi mereka, waduk ini adalah bukti bahwa Wonogiri selalu mampu beradaptasi—dari hutan ke pemukiman, dari tanah keras ke danau luas.
Sejak saat itu, nama Wonogiri semakin dikenal. Ia tidak lagi hanya tanah legenda, tetapi juga tanah perjuangan manusia yang rela berkorban demi masa depan. Di sinilah wajah Wonogiri terbentuk: keras, penuh cerita, namun selalu menyimpan daya tahan yang luar biasa.
Kini, Wonogiri berdiri sebagai kabupaten yang kaya cerita. Dari hutan rimba yang disebut Wana Giri, dari perjuangan Ki Ageng Wonolelo, dari legenda batu dan goa yang penuh misteri, hingga waduk raksasa yang menenggelamkan desa demi harapan baru—semua itu membentuk identitas yang unik. Wonogiri bukan sekadar nama, melainkan perjalanan panjang yang menyimpan nilai kebijaksanaan, ketabahan, dan kesetiaan pada tanah leluhur.
Masyarakat Wonogiri dikenal dengan sifat ulet dan pantang menyerah. Tanah berbatu yang keras membentuk jiwa yang tegar, sementara tradisi selamatan dan gotong royong menumbuhkan rasa kebersamaan. Mereka tidak hanya hidup dari tanahnya, tetapi juga dari nilai-nilai warisan leluhur yang terus dipelihara. Upacara adat, kesenian tradisional seperti wayang dan kuda lumping, hingga kuliner khas seperti tiwul dan gaplek, semuanya menjadi simbol bahwa Wonogiri tetap menjaga akarnya meski zaman terus berubah.
Generasi muda Wonogiri kini mewarisi kisah panjang itu. Mereka tumbuh dengan kebanggaan bahwa daerah mereka pernah menjadi hutan, menjadi bagian kerajaan, menjadi tanah penuh legenda, lalu berubah menjadi tanah yang hidup dari waduk. Identitas ini membuat Wonogiri berbeda: bukan kota besar, bukan pula sekadar desa kecil, melainkan tanah yang ditempa oleh sejarah.
Di tengah modernisasi, cerita asal-usul Wonogiri terus diceritakan dari mulut ke mulut, dari panggung seni, hingga ke ruang-ruang belajar. Cerita ini bukan hanya pengingat masa lalu, tetapi juga peneguh semangat masa depan. Sebab, sebagaimana leluhur yang mampu mengubah hutan menjadi kampung dan kampung menjadi kabupaten, masyarakat Wonogiri yakin mereka pun bisa mengubah tantangan hari ini menjadi harapan esok.
Maka berakhir sudah kisah asal-usul Wonogiri—sebuah tanah yang lahir dari hutan, tumbuh bersama kerajaan, diselimuti legenda, ditempa pengorbanan, dan kini berdiri sebagai warisan kebanggaan bagi generasi penerus.
Sumber : Berbagi Cerita