Inilah jawaban dari soal bagaimana pancasila sebagai dasar falsafah negara yang sifatnya tetap dapat menjawab tantangan baru seperti intoleransi, polarisasi politik, dan disrupsi digital ? Silahkan disimak pembahasan tema pendidikan ini
Pancasila sebagai dasar falsafah negara Indonesia memiliki kedudukan yang fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bersifat tetap, artinya tidak berubah oleh waktu atau situasi politik. Namun, sifatnya yang tetap tidak berarti kaku. Justru Pancasila memiliki keluwesan filosofis yang memungkinkan bangsa Indonesia untuk menjawab berbagai tantangan baru, termasuk intoleransi, polarisasi politik, dan disrupsi digital.
Jawaban Bagaimana Pancasila Sebagai Dasar Falsafah Negara Yang Sifatnya Tetap Dapat Menjawab Tantangan Baru Seperti Intoleransi, Polarisasi Politik, Dan Disrupsi Digital ?
1. Pancasila: Dasar yang Tetap, Nilai yang Hidup
Pancasila tidak sekadar kumpulan lima sila, tetapi merupakan pandangan hidup (weltanschauung) bangsa Indonesia. Kelima sila tersebut mencerminkan nilai-nilai universal: Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial. Nilai-nilai ini bersifat abadi dan inklusif, sehingga dapat dijadikan pegangan dalam menghadapi dinamika sosial-politik dan teknologi di setiap zaman.
Meski tidak berubah secara tekstual, penafsiran dan implementasi Pancasila dapat berkembang sesuai konteks tantangan yang dihadapi masyarakat.
2. Menjawab Tantangan Intoleransi
Fenomena intoleransi muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari diskriminasi agama, ujaran kebencian, hingga radikalisme. Dalam konteks ini, Sila Pertama (“Ketuhanan Yang Maha Esa”) dan Sila Kedua (“Kemanusiaan yang adil dan beradab”) menjadi fondasi moral untuk:
- Menegaskan bahwa negara menghormati semua agama dan kepercayaan, sehingga tidak ada satu kelompok pun yang boleh mendominasi atau menindas kelompok lain.
- Mendorong terciptanya kehidupan sosial yang saling menghargai dan menjunjung tinggi martabat manusia.
- Menjadi dasar kebijakan negara dalam memperkuat moderasi beragama, pendidikan multikultural, serta penegakan hukum terhadap tindakan intoleran.
Dengan demikian, Pancasila menjawab intoleransi bukan dengan pemaksaan ideologi, tetapi melalui penguatan nilai kemanusiaan dan ketuhanan yang inklusif.
3. Mengatasi Polarisasi Politik
Polarisasi politik kerap terjadi saat perbedaan pandangan dijadikan alat perpecahan. Dalam situasi ini, Sila Ketiga (“Persatuan Indonesia”) dan Sila Keempat (“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”) menjadi landasan penting untuk:
- Meneguhkan kembali semangat persatuan di atas kepentingan golongan.
- Mendorong budaya musyawarah dan dialog terbuka yang sehat, bukan pertikaian atau ujaran kebencian.
- Memperkuat demokrasi Pancasila yang mengedepankan kebijaksanaan, bukan sekadar mayoritas-minoritas.
Dengan nilai ini, Pancasila menjadi alat pemersatu, bukan pemicu perpecahan.
Era digital membawa perubahan besar dalam cara masyarakat berinteraksi, mengakses informasi, dan membentuk opini publik. Disrupsi digital juga menghadirkan tantangan serius seperti hoaks, ujaran kebencian, serta menurunnya etika dalam ruang maya.
Dalam konteks ini, Sila Kedua dan Kelima (“Kemanusiaan yang adil dan beradab” serta “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”) memberi pedoman bahwa:
- Teknologi harus digunakan untuk memajukan peradaban, bukan merusak moralitas.
- Pemerintah dan masyarakat perlu membangun etika digital yang berlandaskan nilai kemanusiaan dan keadilan.
- Pengembangan teknologi dan ekonomi digital harus memastikan keadilan akses dan kebermanfaatan bagi semua, bukan hanya segelintir kelompok.
Dengan demikian, Pancasila menjadi kompas moral dalam era digital, menjaga agar kemajuan teknologi tetap berpihak pada kemanusiaan.
5. Pancasila: Bukan Sekadar Simbol, tetapi Aksi
Agar nilai-nilai Pancasila benar-benar mampu menjawab tantangan zaman, perlu ada implementasi nyata:
- Pendidikan karakter berbasis Pancasila sejak dini.
- Penguatan kebijakan publik yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila.
- Peran aktif masyarakat sipil dalam menumbuhkan budaya toleransi, musyawarah, dan etika digital.
- Penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran nilai-nilai kebangsaan.
Dengan langkah ini, Pancasila tidak hanya menjadi dokumen historis, tetapi roh yang menghidupkan kehidupan berbangsa.
Penutup
Meskipun lahir pada 1 Juni 1945, Pancasila tetap relevan hingga kini karena bersifat universal, fleksibel, dan berakar pada jati diri bangsa. Melalui kelima silanya, Pancasila mampu memberikan jawaban dan arah dalam menghadapi tantangan kontemporer seperti intoleransi, polarisasi politik, dan disrupsi digital. Sifatnya yang tetap justru memberi pijakan kokoh untuk melakukan adaptasi secara bijak, bukan berubah mengikuti arus zaman.
Dengan demikian, Pancasila bukan hanya warisan masa lalu, melainkan pedoman hidup masa kini dan masa depan.