Asal Usul Kota Klaten

Asal Usul Kota Klaten

Asal Usul Kota Klaten : Bagian 1 – Tanah yang Dikenang Dewi Wahyu

Di masa lampau, jauh sebelum kata Klaten dikenal, wilayah itu hanyalah hamparan perbukitan hijau dengan sungai-sungai kecil yang mengalir lembut di antara ladang-ladang. Burung-burung manyar berkicau di sawah, dan embun pagi menetes di pucuk padi muda. Penduduknya hidup sederhana — mereka adalah petani dan penenun yang menghormati alam seperti sahabat sendiri. Namun, ketenangan itu berubah ketika kabar datang dari utara: terjadi kemarau panjang yang membuat tanah menjadi retak, dan sungai-sungai mulai mengering.

Pada masa itu, hiduplah seorang putri cantik bernama Dewi Wahyu, anak dari seorang pertapa sakti yang tinggal di kaki Gunung Merapi. Dewi Wahyu dikenal karena kebijaksanaannya dan kasihnya terhadap rakyat kecil. Ia sering turun gunung membawa kendi air dari mata air suci untuk dibagikan kepada warga desa yang kehausan. Orang-orang percaya bahwa air dari kendi itu membawa berkah, membuat tanaman subur dan ternak sehat.

Suatu hari, saat perjalanan menolong warga di lembah selatan, Dewi Wahyu jatuh sakit karena kelelahan. Ia berhenti di sebuah padang rumput dan berdoa agar air kehidupan mengalir selamanya di tempat itu. Tak lama setelah itu, kendi yang dibawanya pecah, dan dari tanah yang retak itu keluar pancuran air jernih yang tak pernah berhenti mengalir. Warga pun menamai tempat itu “Kalatèn”, dari kata “kalen” (sungai kecil) dan “tèn” (tetesan air yang suci). Sejak saat itu, daerah itu tak pernah kehabisan air, dan menjadi tanah subur yang kelak dikenal sebagai Klaten.

Bagian 2 – Desa di Sekitar Mata Air Suci

Seiring berjalannya waktu, pancuran air dari kendi Dewi Wahyu menjadi pusat kehidupan bagi banyak orang. Dari segala penjuru datang para pengelana, petani, dan pedagang untuk menetap di sekitar sumber air itu. Mereka menyebut tempat itu Sendang Dewi Wahyu, tempat yang dipercaya memiliki daya penyembuh dan keberkahan. Di sanalah berdiri perkampungan pertama yang damai dan makmur, dikelilingi oleh sawah hijau dan pepohonan besar yang rindang.

Penduduknya hidup rukun. Mereka menanam padi, palawija, dan menenun kain dari kapas yang tumbuh di lereng-lereng bukit. Setiap pagi terdengar suara alu menumbuk padi, disusul tawa anak-anak yang bermain di tepi sungai kecil. Masyarakat percaya, selama mereka menjaga kebersihan sendang dan bersyukur kepada Sang Pencipta, air itu tak akan pernah kering.

Namun, di balik kesejahteraan itu, ada pantangan yang selalu diingat: jangan sekali-kali mencemari air sendang, sebab itu adalah titipan Dewi Wahyu. Orang yang melanggar, katanya, akan kehilangan hasil panennya atau jatuh sakit. Maka setiap tahun, warga mengadakan upacara “Bersih Sendang”, mempersembahkan sesaji berupa bunga tujuh rupa dan hasil bumi sebagai tanda terima kasih.

Perkampungan itu semakin ramai. Pedagang dari daerah lain datang membawa garam, ikan asin, dan kain batik. Mereka menyebut tempat itu “Kalatènan”, artinya kawasan di sekitar kalen tèn — aliran air suci. Dari sinilah nama Klaten mulai dikenal, meski wujudnya masih berupa desa kecil yang penuh legenda dan keajaiban.

Bagian 3 – Klaten di Mata Kerajaan Mataram

Ratusan tahun berlalu. Desa Kalatènan tumbuh menjadi wilayah makmur yang terkenal dengan hasil buminya. Padi di sana berbulir besar, kain tenunannya halus, dan air sendangnya tak pernah kering, bahkan di musim kemarau paling panjang. Kabar tentang tanah yang diberkahi ini akhirnya sampai ke telinga Raja Mataram, yang saat itu berkuasa di Medang. Sang raja mengutus seorang patih untuk menelusuri kebenaran cerita tersebut.

Patih bersama beberapa prajurit berangkat menuju lembah selatan. Setelah perjalanan panjang, mereka tiba di desa yang damai itu. Begitu mereka mencuci muka di Sendang Dewi Wahyu, rasa letih seketika hilang. Patih pun terpesona dan melapor kepada raja:
“Duh Gusti, tanah ini benar adanya. Airnya jernih seperti kaca, sawahnya bak hamparan emas. Rakyatnya hidup dalam kasih dan ketertiban.”

Sang Raja kemudian menetapkan wilayah itu sebagai tanah perdikan, yakni tanah yang tidak dipungut pajak, karena dianggap suci dan berjasa menjaga keseimbangan alam. Sebagai tanda penghormatan, dibangunlah sebuah petilasan di dekat sendang, tempat orang datang untuk berdoa dan memohon berkah.

Sejak saat itu, banyak pendatang dari berbagai daerah Jawa yang datang menetap di Kalatènan. Mereka membawa bahasa, budaya, dan keterampilan baru. Terbentuklah dusun-dusun kecil yang saling berdampingan — seperti Jonggrangan, Baran, dan Ketandan — yang kelak menjadi bagian dari wilayah Klaten modern.

Namun, kemakmuran itu menumbuhkan rasa iri dari wilayah lain. Di balik kesejahteraan yang tampak, mulai muncul bayangan ancaman dari para penguasa yang menginginkan sumber air suci itu untuk kekuasaan mereka sendiri.

Bagian 4 – Ujian bagi Tanah yang Diberkahi

Kemakmuran Kalatènan yang menyejukkan hati rupanya menimbulkan iri di hati penguasa dari kerajaan tetangga. Mereka mendengar kabar tentang sumber air yang tak pernah kering, dan sawah yang tak pernah gagal panen. Bagi mereka, air berarti kehidupan — dan kehidupan berarti kekuasaan. Maka berangkatlah pasukan dari timur, berniat merebut wilayah itu dan menguasai sendang suci peninggalan Dewi Wahyu.

Rakyat Kalatènan panik. Mereka hanyalah petani dan pengrajin, bukan prajurit. Namun di tengah ketakutan, seorang pemuda bernama Jaka Prabangkara bangkit memimpin rakyatnya. Ia dikenal sebagai keturunan jauh dari pengikut Dewi Wahyu, dan dipercaya mewarisi sedikit dari kekuatan leluhur. Dengan tekad yang membara, Jaka memimpin rakyat untuk bertahan, bukan dengan keserakahan, tetapi dengan keberanian dan doa.

Pertempuran pun pecah. Asap membumbung dari ladang, dentang senjata bergaung di antara bukit. Saat keadaan hampir tak tertolong, Jaka berlutut di tepi sendang dan berseru, “Wahai Dewi Wahyu, lindungilah tanah ini sebagaimana engkau dahulu meneteskan berkahmu.” Tiba-tiba langit mendung pekat, hujan turun deras, dan air sendang meluap membentuk sungai yang menghalangi pasukan musuh. Mereka tak mampu menyeberang, dan akhirnya mundur dengan ketakutan.

Sejak hari itu, rakyat percaya bahwa sendang itu bukan sekadar sumber air, melainkan penjaga tanah mereka. Mereka memperingati kejadian itu setiap tahun dalam Upacara Tirta Suci, dengan doa agar Klaten selalu diberkahi dan terlindung dari bencana maupun keserakahan manusia.

Bagian 5 – Warisan Dewi Wahyu di Masa Kini

Waktu terus berjalan. Ratusan tahun setelah masa Jaka Prabangkara, Kalatènan perlahan berubah. Jalan-jalan tanah menjadi batu, rumah-rumah kayu diganti tembok bata. Para petani kini memakai alat modern, dan pasar-pasar ramai oleh pedagang dari berbagai penjuru Jawa. Nama Kalatènan pun disingkat menjadi Klaten, sebuah kota yang berdiri di antara dua gunung besar — Merapi dan Merbabu — seperti dilindungi oleh alam yang sama yang dahulu menaungi Dewi Wahyu.

Meski zaman telah berganti, masyarakat Klaten masih memegang teguh nilai-nilai yang diwariskan leluhur: kerja keras, kesederhanaan, dan penghormatan pada alam. Di beberapa desa, terutama di sekitar Sendang Sumber, masih diadakan Upacara Tirta Suci dan Bersih Sendang setiap tahun. Anak-anak muda berpakaian tradisional membawa kendi berisi air dari sumber mata air, lalu menuangkannya ke sawah sebagai simbol keberkahan.

Kini Klaten dikenal sebagai kota yang damai dan subur, pusat pengrajin dan pertanian, namun di balik itu tersimpan legenda yang membuat warganya bangga. Mereka percaya bahwa semangat Dewi Wahyu tetap hidup dalam setiap tetes air yang mengalir di tanah mereka — air yang menjadi saksi perjalanan dari desa kecil hingga menjadi kota yang ramai.

“Selama kita menjaga air, tanah ini akan menjaga kita,” begitu pesan turun-temurun yang masih diucapkan para sesepuh Klaten. Maka, setiap kali matahari terbit di balik Merapi, sinarnya menyentuh permukaan air sendang yang jernih, seakan mengingatkan bahwa sejarah dan kesejahteraan Klaten bermula dari satu hal: tetesan kasih Dewi Wahyu untuk bumi pertiwi.

About administrator

Kami Menyediakan Informasi Berdasarkan Sumber Yang Kredibel dan Terpecaya

Tinggalkan Balasan