Langit di luar masih tampak kelabu ketika pintu baja itu menutup rapat untuk terakhir kalinya. Suara gemuruh dari mekanisme penguncian menggetarkan udara lalu semuanya berubah menjadi hening. Ardan berdiri di tengah ruangan sempit yang kini menjadi dunia barunya. Bunker anti nuklir itu dirancang untuk melindungi manusia dari bencana terburuk namun tidak ada yang benar benar mempersiapkannya untuk kesunyian yang mengikuti.
Cahaya lampu putih di langit langit berkedip pelan seakan masih menyesuaikan diri. Dinding berwarna abu pucat memantulkan setiap gerakan Ardan. Ia melihat sekeliling. Ada satu ranjang lipat di sudut ruangan, satu meja besi kecil, rak yang berisi makanan kaleng, serta sebuah panel kontrol yang menampilkan indikator oksigen dan tekanan udara. Tidak ada jendela. Tidak ada suara angin. Tidak ada bau tanah atau aroma hujan. Semua seperti ruang hampa yang diberi bentuk.
Ardan menarik napas dalam. Udara terasa bersih namun dingin. Ia mencoba berpikir positif. Bunker itu memiliki persediaan air, generator kecil, dan sistem ventilasi mandiri. Secara teori semuanya cukup untuk seratus hari. Namun teori tidak memiliki rasa takut atau kesunyian yang menelan seorang manusia.
Ia meraba dinding baja yang dingin. Bagian dalam bunker tidak lebih luas dari sebuah kamar hotel kecil. Ia berusaha mengingat kembali instruksi keselamatan dari teknisi yang membawanya ke sini. Setelah pintu tertutup ia dilarang membukanya sampai waktu yang ditentukan. Tidak boleh mencoba memaksanya. Tidak boleh mencoba mengutak atik panel kontrol. Semua demi bertahan hidup.
Ardan duduk di ranjang lipat itu. Detik detik terasa lambat. Tidak ada tanda kehidupan selain dengung halus generator yang bekerja. Untuk pertama kalinya ia menyadari bahwa seratus hari bukan sekadar angka. Seratus hari adalah perjalanan panjang di dalam ruang yang tidak mengenal siang dan malam. Dan ia baru memulai hari pertama.
Hari hari awal selalu dianggap yang paling mudah namun Ardan segera menyadari bahwa waktu dalam bunker tidak mengikuti logika dunia luar. Tanpa cahaya matahari atau perubahan suhu tubuhnya tidak memiliki penanda alami. Ia mencoba membuat jadwal sederhana agar pikirannya tetap terarah. Ia memulai dengan bangun, makan, berolahraga ringan, membaca buku panduan keselamatan, lalu menulis catatan harian. Namun semua itu dilakukan di dalam ruang yang tidak pernah berubah sehingga setiap kegiatan terasa seperti bayangan dari dirinya sendiri.
Suara mesin generator menjadi satu satunya teman setia. Dengungannya konstan seakan menandai denyut kehidupan buatan. Kadang suaranya terdengar lebih keras hanya karena pikiran Ardan sedang gelisah. Kadang hampir tidak terdengar saat ia mencoba fokus pada sesuatu yang rumit. Di luar mungkin dunia sedang porak poranda namun di dalam bunker setiap hari seperti lembar kosong yang tidak memiliki awal dan akhir.
Pada hari yang ia perkirakan sebagai hari ketiga atau keempat Ardan mulai memperhatikan hal hal kecil yang biasanya luput dari perhatian. Titik kecil pada dinding yang warnanya sedikit berbeda. Suara tetesan air dari sistem pendingin yang kadang terdengar lalu hilang. Aroma besi yang semakin kuat setiap kali ia melakukan latihan pernapasan. Ia mulai merasakan betapa kuatnya pengaruh hal hal sederhana terhadap keadaan mental seseorang.
Malam seharusnya menjadi waktu istirahat tetapi di tempat yang tidak mengenal gelap Ardan hanya mematikan sebagian lampu dan berpura pura bahwa dunia lain masih berjalan. Ia berbaring sambil mendengarkan degup jantungnya sendiri. Ritme itu adalah satu satunya pengingat bahwa ia masih manusia bukan sekadar penghuni ruang logam.
Ia tahu bahwa hari hari ini baru permulaan. Kesepian yang masih terasa ringan perlahan mulai menumpuk seperti debu halus yang tidak bisa dibersihkan. Ardan mulai bertanya pada dirinya sendiri seberapa lama seseorang dapat bertahan hanya ditemani suara mesin dan pikirannya sendiri.
Sekitar hari kesepuluh atau mungkin dua belas Ardan mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Pada awalnya hanya sedikit kegelisahan yang datang saat ia hendak tidur. Rasanya seperti ada orang lain di ruangan itu meski ia tahu betul bahwa ia sendirian. Ia mencoba mengabaikannya namun setiap kali memejamkan mata muncul kilasan cahaya atau gambaran samar yang tidak masuk akal. Ia tahu itu hanya permainan otak yang kekurangan rangsangan tetapi rasanya tetap mengganggu.
Suatu kali saat ia sedang duduk di lantai sambil menyalakan pemutar musik kecil tiba tiba ia merasa seolah ada langkah kaki lembut di belakangnya. Suaranya tidak keras tetapi cukup untuk membuat bulu kuduknya berdiri. Ia menoleh cepat. Tentu saja tidak ada siapa siapa. Hanya dinding baja yang tetap membisu. Ia mencoba menenangkan diri dengan berpikir bahwa itu hanyalah pantulan suara dari mesin pendingin. Namun bagian dalam dirinya merasakan kekosongan yang semakin dalam.
Makanan kaleng yang awalnya terasa biasa kini mulai terasa hambar. Air minum tetap jernih tetapi tidak memberikan kesegaran mental yang ia harapkan. Sesekali ia memandang panel kontrol dan berharap ada pesan dari dunia luar. Namun layar itu tidak pernah berubah. Indikator oksigen tetap stabil. Tekanan udara tetap konsisten. Seakan bunker itu ingin memperlihatkan bahwa semua berjalan baik meskipun pikiran penghuninya perlahan retak.
Pada hari yang ia kira sebagai hari kelima belas Ardan menemukan dirinya berbicara kepada rak makanan seolah rak itu dapat mendengar. Ia sadar betul bahwa tindakan itu tidak masuk akal tetapi berbicara membuat ruangan terasa sedikit lebih hidup. Ia bahkan mulai memberikan nama pada benda benda di sekitarnya. Ranjangnya ia panggil Riko. Rak kaleng ia sebut Sora. Meja kecil ia namai Lila. Ia tahu itu tanda bahwa kesunyian mulai membentuk ruang baru dalam kepalanya ruang yang tidak selalu aman.
Hari hari berikutnya membuat Ardan semakin sulit membedakan antara rutinitas dan halusinasi kecil yang terus datang. Ia terbangun suatu pagi yang tidak benar benar pagi karena cahaya di bunker tidak pernah berubah. Tubuhnya terasa lemas dan pikirannya kosong. Ia tidak yakin apakah ia tidur selama beberapa jam atau hanya menutup mata sebentar. Ketika ia melihat catatan hariannya ia menyadari bahwa tulisannya mulai berubah bentuk. Huruf hurufnya semakin miring seakan tangannya gemetar saat menulis.
Ia mencoba memeriksa persediaan makanan untuk mengalihkan pikiran. Saat membuka sebuah kaleng ia merasa seolah ada yang bergerak di dalamnya padahal isinya hanyalah kacang. Ia menutup mata lalu membukanya kembali. Tidak ada apa pun. Hanya bayangan imajinasi yang semakin sulit untuk diabaikan. Ia tertawa kecil tetapi tawa itu terdengar aneh seperti suara orang asing yang kebetulan keluar dari mulutnya sendiri.
Waktu di bunker tidak lagi lurus. Kadang ia merasa satu jam berlangsung seperti sehari penuh. Kadang sebaliknya satu hari terasa seperti kedipan mata. Ia mencoba menghitung waktu dengan ritme napas namun hasilnya selalu berbeda. Ia mulai meragukan jam internal tubuhnya sendiri. Bahkan tidurnya semakin kacau. Ia sering terbangun dengan perasaan ada seseorang yang baru saja menyentuh bahunya. Ketika ia menoleh tentu saja tidak ada siapa siapa.
Pada hari yang ia perkirakan sebagai hari kedua puluh lima Ardan memutuskan untuk mematikan musik dan duduk dalam keheningan penuh. Ia ingin memastikan bahwa suara langkah yang sering ia dengar hanyalah ilusi. Namun saat ruangan benar benar sunyi ia bisa mendengar bunyi lain yang lebih halus. Bunyi itu seperti bisikan dari dinding baja yang bergetar perlahan. Ia menempelkan telinganya pada dinding dan merasakan getaran lembut yang tidak pernah ia sadari sebelumnya.
Untuk pertama kalinya ia bertanya pada dirinya apakah bunker itu benar benar kosong atau apakah ruang tertutup dapat menyimpan suara dari sesuatu yang tidak terlihat.
Ardan mencapai titik di mana ia berhenti menghitung hari. Catatan hariannya berubah menjadi coretan yang sulit dibaca. Jadwal yang ia buat sejak awal telah runtuh. Ia tidak lagi tahu kapan harus tidur atau kapan harus makan. Tubuhnya bergerak berdasarkan dorongan sederhana sementara pikirannya melayang dalam ruang aneh yang tidak memiliki bentuk pasti. Setiap sudut bunker terasa berbeda seolah ruangan itu sendiri hidup dan terus mengubah suasana.
Suatu saat ketika ia sedang duduk memeluk lutut di lantai suara bisikan yang biasanya samar terdengar lebih jelas. Seperti suara seseorang yang sedang memanggil namanya. Ardan ingin berteriak tetapi suaranya seolah tenggelam sebelum mencapai udara. Ia menutup telinganya namun bisikan itu tetap terdengar. Seakan berasal dari dalam dirinya atau dari ruang di balik dinding logam yang tidak pernah ia lihat. Ia mulai berpikir mungkin suara itu muncul karena pikirannya yang kelelahan. Namun perasaan bahwa ia tidak sepenuhnya sendirian semakin kuat.
Ketika ia mengira sudah melewati sekitar sembilan puluh hari sesuatu yang berbeda terjadi. Cahaya lampu yang sejak hari pertama tidak pernah berubah kini berkedip lebih lama. Generator mengeluarkan bunyi yang tidak biasa. Ardan berdiri dengan tubuh gemetar. Panel kontrol yang selalu menunjukkan stabilitas kini menampilkan peringatan tentang tekanan udara. Ia tidak tahu apakah itu kerusakan atau tanda bahwa dunia luar mulai aman. Namun kegelisahan yang ia simpan selama berminggu minggu membuatnya yakin bahwa apapun yang terjadi ia harus bersiap.
Akhirnya setelah yang ia rasa sebagai hari keseratus terdengar bunyi mekanisme pintu yang perlahan aktif. Pintu baja itu yang selama ini menjadi batas antara hidup dan kehancuran bergetar halus lalu terbuka sedikit demi sedikit. Cahaya dari luar menerobos masuk. Terang namun asing. Ardan berdiri mematung. Ia seharusnya merasa lega tetapi hatinya justru diliputi ketakutan baru.
Karena setelah seratus hari hidup di ruang tertutup ia tidak yakin apakah dunia di luar masih sama atau apakah dirinya yang telah berubah menjadi seseorang yang tidak lagi mengenal langit. (alkisahnews.com)
Alkisahnews.com Situs Berita Informasi Asuransi, Bisnis, Teknologi, Gadget, & Aplikasi Situs Berita Informasi Asuransi, Bisnis, Teknologi, Gadget, & Aplikasi